Sunday, July 12, 2009

Siapakah Sang Pelaku Pengindraan?(Intisari Materi3)


Otak adalah setumpuk sel yang terbuat dari proten dan molekul-molekul lemak. Otak terbentuk dari sel-sel saraf yang disebut neuron. Tidak ada kekuatan apa pun dalam potongan daging ini untuk mengamati imaji-imaji, untuk memberi kesadaran, atau untuk menciptakan keberadaan yang kita sebut "diri sendiri


Seperti yang telah kita bahas sejauh ini, tidak ada keraguan terhadap fakta bahwa dunia yang kita pikir kita diami dan kita sebut "dunia luar" dibentuk di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan penting. Jika semua kejadian fisik yang kita ketahui, pada hakikatnya adalah persepsi, bagaimana dengan otak kita? Karena otak kita adalah bagian dari dunia fisik seperti halnya lengan, kaki atau objek lain, maka otak pun seharusnya merupakan persepsi seperti semua objek lainnya.

Sebuah contoh tentang mimpi akan membuat masalah ini menjadi lebih jelas. Mari kita pikirkan bahwa kita melihat mimpi dalam otak kita sesuai dengan apa yang telah dikatakan sejauh ini. Di dalam mimpi kita akan memiliki tubuh imajiner, lengan imajiner, mata imajiner dan otak imajiner. Jika selama mimpi kita ditanya "Di mana Anda melihat?", kita akan menjawab "Saya melihat di dalam otak saya". Meskipun sebenarnya tidak ada otak untuk kita bicarakan, hanya ada kepala imajiner dan otak imajiner. Yang melihat citra-citra ini bukan otak imajiner dalam mimpi, melainkan "sesuatu" yang jauh lebih superior daripadanya.

Kita tahu bahwa tidak ada perbedaan fisik antara situasi mimpi dan situasi yang kita sebut sebagai "kehidupan nyata". Jadi ketika dalam setting yang kita sebut "dunia nyata" kita ditanya "di mana Anda melihat" maka jawaban "di dalam otak" sama tidak berartinya dengan contoh di atas. Pada kedua kondisi, entitas yang melihat dan merasa bukan otak, yang bagaimanapun hanya seonggok daging.

Sejauh ini, kita telah berbicara berulang-ulang tentang bagaimana kita menyaksikan sebuah salinan dari dunia luar di dalam otak kita. Satu makna pentingnya adalah bahwa kita tidak pernah dapat merasakan dunia luar sebagaimana yang sesungguhnya.

Kenyataan berikutnya, dan yang tidak kalah penting adalah bahwa "wujud mandiri [kesadaran]" di dalam otak kita yang menyaksikan dunia ini tidaklah mungkin otak itu sendiri, yang menyerupai perangkat komputer terpadu: mengolah data yang sampai kepadanya, menerjemahkan ke dalam gambar, dan menampilkannya pada layar. Namun sebuah komputer tidak mampu menyaksikan wujudnya sendiri, tidak pula komputer itu sadar akan keberadaannya.

Ketika otak dianalisa, yang ditemukan hanya lipida dan protein, molekul yang juga terdapat pada organisme lain. Berarti di dalam sepotong daging yang kita sebut "otak", tidak ada apa pun yang dapat digunakan untuk mengamati citra, membangun kesadaran atau mencipta seseorang yang kita sebut "saya".

R. L. Gregory merujuk kekeliruan yang dilakukan orang-orang berkaitan dengan persepsi citra di dalam otak:

Ada godaan, yang harus dihindari, untuk mengatakan bahwa mata menghasilkan gambar di dalam otak. Gambar di dalam otak berarti memerlukan sejenis mata internal untuk melihatnya — tetapi mata internal ini akan memerlukan mata lain lagi untuk melihat gambarnya… dan seterusnya tanpa akhir antara mata dan gambar. Ini benar-benar absurd. 7

Fakta inilah yang menempatkan materialis — yang tidak mempercayai apa pun kecuali materi sebagai kebenaran — dalam kesulitan. Milik siapakah "mata di dalam" yang melihat, yang memahami apa yang dilihatnya dan bereaksi?

Karl Pribram juga menyoroti pertanyaan tentang siapakah sang pelaku pengindraan tersebut, suatu pertanyaan penting di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat:

Sejak zaman Yunani, filsuf-filsuf telah berpikir tentang "hantu di dalam mesin", "orang kecil di dalam orang kecil" dan seterusnya. Di manakah "saya", orang yang menggunakan otaknya? Siapakah dia yang menyadari tindakan memahami? Seperti dikatakan Saint Francis of Assisi: "Yang kita cari adalah siapa yang melihat." 8

Sekarang mari kita renungkan: buku di tangan Anda, ruangan di mana Anda berada, singkatnya, semua citra di depan Anda dilihat di dalam otak. Apakah atom-atom yang melihat citra ini? Atom yang buta, tuli, dan tidak memiliki kesadaran? Apakah tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa senang, merasa tidak bahagia dan semua hal lainnya terdiri atas reaksi elektrokimia antara atom-atom ini?

Ketika kita memikirkan pertanyaan ini, kita melihat bahwa mencari kehendak dalam atom adalah tidak masuk akal. Jelas bahwa sesuatu yang melihat, mendengar dan merasa adalah wujud supramaterial. Wujud ini "hidup" dan dia bukan materi atau citra materi. Wujud ini berhubungan dengan persepsi di depannya dengan menggunakan citra tubuh kita.

Wujud ini adalah "jiwa".

Wujud berakal yang menulis dan membaca kalimat-kalimat ini bukan kumpulan atom dan molekul — serta reaksi kimia di antaranya — melainkan sebuah "jiwa".

Wujud Mutlak yang Nyata

Semua fakta ini membawa kita langsung pada pertanyaan yang sangat penting. Jika sesuatu yang kita akui sebagai dunia materi hanya terdiri dari persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa, lalu apa sumber persepsi-persepsi ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mempertimbangkan fakta berikut: materi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur eksistensinya sendiri. Karena materi adalah sebuah persepsi, maka materi bersifat "artifisial". Keberadaan persepsi ini harus disebabkan oleh kekuatan lain, yang berarti bahwa persepsi sebenarnya diciptakan. Selain itu, penciptaan ini harus kontinu. Jika tidak ada penciptaan kontinu dan konsisten, maka apa yang kita sebut materi akan menghilang dan musnah. Mirip dengan televisi, di mana sebuah gambar akan ditayangkan selama sinyal dipancarkan.

Jadi siapa yang membuat jiwa kita melihat bintang, bumi, tanaman, orang, badan kita dan semua yang kita lihat?

Sangat jelas bahwa ada Pencipta Agung, yang telah menciptakan seluruh dunia materi, yaitu kumpulan persepsi, dan yang meneruskan penciptaan-Nya tiada henti. Karena Pencipta ini menunjukkan penciptaan yang demikian hebat, Dia pasti memiliki daya dan kekuatan abadi.

Pencipta ini mengenalkan diri-Nya kepada kita. Dia telah meurunkan sebuah kitab dalam semesta pengindraan yang telah diciptakan-Nya. Melalui kitab tersebut Dia telah menggambarkan diri-Nya sendiri, alam semesta dan alasan keberadaan kita.

Pencipta ini adalah Allah dan nama kitab-Nya adalah Al Quran.

Fakta bahwa langit dan bumi atau alam semesta tidak kekal, bahwa keberadaannya dimungkinkan hanya oleh penciptaan Allah dan bahwa alam semesta akan musnah ketika Dia mengakhiri penciptaan ini.

Jika Tuhan tidak berkehendak menampilkan gambar dunia ini kepada otak kita, maka seluruh alam semesta tidak akan ada lagi untuk kita, dan kita tidak akan pernah mampu menjangkaunya.

Kenyataan bahwa kita tidak pernah mampu berhubungan langsung dengan alam semesta yang bersifat materi ini juga menjawab pertanyaan "Di mana Tuhan?" yang menyibukkan pemikiran banyak orang.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal, banyak orang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Allah sehingga mereka membayangkan-Nya sebagai suatu wujud yang ada di suatu tempat di langit dan tidak sepenuhnya mencampuri urusan duniawi. Dasar logika ini sebenarnya terletak pada pemikiran bahwa alam semesta adalah kumpulan materi dan Allah berada di "luar" dunia materi ini, yaitu di tempat yang sangat jauh. Pada agama-agama palsu, kepercayaan terhadap Allah terbatas pada pemahaman ini.

Akan tetapi, persis sebagaimana ketidakmampuan kita bersentuhan langsung dengan alam semesta yang bersifat materi ini, tidak pula kita mampu memiliki pengetahuan menyeluruh tentang intisari alam semesta tersebut. Semua yang kita tahu adalah keberadaan Pencipta Yang memunculkan segala sesuatu ini menjadi ada—dengan kata lain, Tuhan. Untuk mengungkapkan kebenaran itu, para ulama Islam seperti Imam Rabbani telah berkata bahwa satu-satunya wujud mutlak adalah Tuhan; dan segala sesuatu lainnya, kecuali Dia, hanyalah wujud bayangan [maya/fana].

Karena masing-masing wujud material adalah persepsi, mereka tidak dapat melihat Allah; tetapi Allah melihat materi yang Dia ciptakan dalam segala bentuknya. Dalam Al Quran, fakta ini dinyatakan dengan: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Anaam, 6: 103).

Kita tidak dapat menangkap keberadaan Allah dengan mata kita, tetapi Allah secara menyeluruh meliputi diri kita, baik bagian dalam maupun bagian luar, termasuk penglihatan dan pemikiran kita. Kita tidak dapat mengucapkan satu kata atau menarik satu napas pun kecuali dengan pengetahuan-Nya.

Ketika seseorang berpikir bahwa tubuhnya tersusun atas "materi", dia tidak dapat memahami fakta penting tersebut. Jika dia menjadikan otaknya sebagai "dirinya", maka tempat yang dia maksud sebagai luar hanyalah 20-30 senti-meter darinya. Namun, ketika dia memahami bahwa materi sebenarnya tidak ada dan bahwa segala sesuatu hanya imajinasi, maka pengertian seperti luar, dalam atau dekat akan kehilangan arti. Allah meliputinya dan Dia "sangat dekat" dengannya.

Allah memberitahu manusia bahwa Dia berada sangat dekat dengan mereka melalui ayat "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat..." (QS. Al Baqarah, 2: 186). Ayat lain berkaitan dengan fakta yang sama: "Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: 'Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia'." (QS. Al Isra, 17: 60).

Manusia keliru dengan berpikir bahwa wujud yang terdekat dengannya adalah dirinya sendiri. Allah sebenarnya lebih dekat dengan kita dari-pada kita sendiri. Sebagaimana disampaikan dalam ayat tersebut, orang-orang hidup tanpa menyadari fakta luar biasa ini karena mereka tidak melihat dengan mata mereka.

Sebaliknya, manusia yang hanya berupa wujud bayangan tidak mungkin memiliki kekuatan dan kehendak lepas dari Allah. Allah memberi wujud bayangan ini perasaan bahwa dirinyalah yang melempar. Dalam kenyataannya, Allah yang melakukan semua tindakan. Jadi jika seseorang beranggapan bahwa apa yang diperbuatnya adalah perbuatan dirinya sendiri, sebenarnya ia menipu dirinya.

Ini adalah kenyataan. Seseorang mungkin tidak mau mengakui kenyataan ini dan berpikir bahwa dirinya adalah wujud yang tidak bergantung kepada Allah; namun sikap ini tidak mengubah apa pun.

Segala Sesuatu yang Anda Miliki pada Hakikatnya Adalah Ilusi

Sebagaimana terlihat dengan jelas, merupakan fakta ilmiah dan logis bahwa "dunia luar" tidak memiliki realitas materialistis tetapi merupakan kumpulan citra yang dihadapkan secara terus-menerus kepada jiwa kita oleh Allah. Akan tetapi, orang biasanya tidak memasukkan, atau cenderung tidak mau memasukkan segala sesuatu ke dalam konsep "dunia luar".

Jika Anda memikirkan hal ini dengan tulus dan berani, Anda akan menyadari bahwa rumah, perabotan di dalamnya, mobil yang mungkin baru saja dibeli, kantor, perhiasan, rekening di bank, koleksi pakaian, suami atau istri, anak-anak, rekan sejawat, dan semua yang Anda miliki sebenarnya termasuk dalam dunia luar imajiner yang diproyeksikan kepada Anda. Segala sesuatu yang Anda lihat, dengar, atau cium — singkatnya, Anda tangkap dengan kelima indra adalah bagian dari "dunia imajiner" ini. Suara penyanyi favorit Anda, kerasnya kursi yang Anda duduki, parfum yang aromanya Anda suka, matahari yang menghangatkan tubuh Anda, bunga dengan warna yang indah, burung yang terbang di depan jendela Anda, speedboat yang bergerak cepat di atas air, kebun Anda yang subur, komputer yang Anda gunakan di tempat kerja, hi-fi dengan teknologi tercanggih di dunia....

Ini adalah kenyataan, karena dunia ini hanyalah kumpulan citra yang diciptakan untuk menguji manusia. Manusia diuji sepanjang hidupnya yang terbatas dengan persepsi-persepsi yang tidak mengandung realitas. Persepsi-persepsi ini sengaja dihadirkan secara menggoda dan memikat.

Sebagian besar orang mengabaikan agamanya karena daya tarik kekayaan, rumah, timbunan emas dan perak, uang, perhiasan, rekening bank, kartu kredit, lemari penuh dengan pakaian, mobil model terbaru; singkatnya, semua bentuk kemakmuran yang mereka miliki atau mereka usahakan untuk memilikinya. Orang-orang seperti ini hanya memikirkan dunia ini dan melupakan hari akhir. Mereka tertipu oleh wajah dunia yang cantik dan gemerlap ini, dan tidak menegakkan shalat, memberi sedekah kepada kaum miskin, melakukan ibadah yang akan membuat mereka bahagia di hari akhir. Mereka mengatakan, "Masih ada yang harus saya kerjakan", "Saya memiliki cita-cita", "Saya punya tanggung jawab", "Saya tidak punya banyak waktu", "Saya harus menyelesaikan pekerjaan", "Saya lakukan nanti saja". Mereka mengisi hidup dengan berusaha hanya untuk bahagia di dunia ini.

0 comments: